Suku
Dayak adalah suku asli Kalimantan yang hidup berkelompok yang tinggal di
pedalaman, di gunung, dan sebagainya. Kata Dayak itu sendiri sebenarnya
diberikan oleh orang-orang Melayu yang datang ke Kalimantan. Orang-orang Dayak
sendiri sebenarnya keberatan memakai nama Dayak, sebab lebih diartikan agak
negatif. Padahal, semboyan orang Dayak adalah “Menteng Ueh Mamut”, yang berarti
seseorang yang memiliki kekuatan gagah berani, serta tidak kenal menyerah atau
pantang mundur.
ASAL
MULA
Pada tahun (1977-1978) saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan
bagian nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid dari asia
mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan
yang sekarang disebut pegunungan “Muller-Schwaner”. Suku Dayak merupakan
penduduk Kalimantan yang sejati. Namun setelah orang-orang Melayu dari Sumatra
dan Semenanjung Malaka datang, mereka makin lama makin mundur ke dalam.
Belum
lagi kedatangan orang-orang Bugis, Makasar, dan Jawa pada masa kejayaan
Kerajaan Majapahit. Suku Dayak hidup terpencar-pencar di seluruh wilayah
Kalimantan dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri
sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan.
Suku ini terdiri atas beberapa suku yang masing-masing memiliki sifat dan
perilaku berbeda.
Suku
Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering
disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang
hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389
(Fridolin Ukur,1971). Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan
terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada
saat pengaruh Islam yang berasala dari kerajaan Demak bersama masuknya para
pedagang Melayu (sekitar tahun 1608).
Sebagian
besar suku Dayak memeluk Islam dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang
Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan
orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke
pedalaman di Kalimantan Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai,
Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi
terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di
Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan
Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak
(Ma’anyan atau Ot Danum)
Tidak
hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa
Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun
1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di
kunjungi adalah Banjarmasin. Tetapi masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa datang
pada era Bajarmasin (dibawah hegemoni Majapahit) atau di era Islam.
Kedatangan
bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak
memiliki pengaruh langsung karena langsung karena mereka hanya berdagang,
terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga
dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian
suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik.
Sejak
awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung
Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di
bawah pimpinan Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah
sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun
1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang
mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan
diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok
dan guci (Sarwoto kertodipoero,1963)
Dibawah
ini ada beberapa adat istiadat bagi suku dayak yang masih terpelihara hingga
kini, dan dunia supranatural Suku Dayak pada zaman dahulu maupun zaman sekarang
yang masih kuat sampai sekarang. Adat istiadat ini merupakan salah satu kekayaan
budaya yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia, karena pada awal mulanya Suku Dayak
berasal dari pedalaman Kalimantan.
Upacara
Tiwah
Upacara
Tiwah merupakan acara adat suku Dayak. Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan
untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di
buat. Sandung adalah tempat yang semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus
untuk mereka yang sudah meninggal dunia.
Upacara
Tiwah bagi Suku Dayak sangatlah sakral, pada acara Tiwah ini sebelum
tulang-tulang orang yang sudah mati tersebut di antar dan diletakkan ke
tempatnya (sandung), banyak sekali acara-acara ritual, tarian, suara gong
maupun hiburan lain. Sampai akhirnya tulang-tulang tersebut di letakkan di
tempatnya (Sandung).
Dunia
Supranatural
Dunia
Supranatural bagi Suku Dayak memang sudah sejak jaman dulu merupakan ciri khas
kebudayaan Dayak. Karena supranatural ini pula orang luar negeri sana menyebut
Dayak sebagai pemakan manusia ( kanibal ). Namun pada kenyataannya Suku Dayak
adalah suku yang sangat cinta damai asal mereka tidak di ganggu dan ditindas
semena-mena. Kekuatan supranatural Dayak Kalimantan banyak jenisnya, contohnya
Manajah Antang. Manajah Antang merupakan cara suku Dayak untuk mencari petunjuk
seperti mencari keberadaan musuh yang sulit di temukan dari arwah para leluhur
dengan media burung Antang, dimanapun musuh yang di cari pasti akan ditemukan.
Mangkok
merah.
Mangkok
merah merupakan media persatuan Suku Dayak. Mangkok merah beredar jika orang
Dayak merasa kedaulatan mereka dalam bahaya besar. “Panglima” atau sering suku
Dayak sebut Pangkalima biasanya mengeluarkan isyarat siaga atau perang berupa
mangkok merah yang di edarkan dari kampung ke kampung secara cepat sekali. Dari
penampilan sehari-hari banyak orang tidak tahu siapa panglima Dayak itu.
Orangnya biasa-biasa saja, hanya saja ia mempunyai kekuatan supranatural yang
luar biasa. Percaya atau tidak panglima itu mempunyai ilmu bisa terbang kebal
dari apa saja seperti peluru, senjata tajam dan sebagainya.
Mangkok
merah tidak sembarangan diedarkan. Sebelum diedarkan sang panglima harus
membuat acara adat untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memulai
perang. Dalam acara adat itu roh para leluhur akan merasuki dalam tubuh
pangkalima lalu jika pangkalima tersebut ber “Tariu” ( memanggil roh leluhur
untuk untuk meminta bantuan dan menyatakan perang ) maka orang-orang Dayak yang
mendengarnya juga akan mempunyai kekuatan seperti panglimanya. Biasanya orang
yang jiwanya labil bisa sakit atau gila bila mendengar tariu.
Orang-orang
yang sudah dirasuki roh para leluhur akan menjadi manusia dan bukan. Sehingga
biasanya darah, hati korban yang dibunuh akan dimakan. Jika tidak dalam suasana
perang tidak pernah orang Dayak makan manusia. Kepala dipenggal, dikuliti dan
di simpan untuk keperluan upacara adat. Meminum darah dan memakan hati itu,
maka kekuatan magis akan bertambah. Makin banyak musuh dibunuh maka orang
tersebut makin sakti.
Mangkok
merah terbuat dari teras bambu (ada yang mengatakan terbuat dari tanah liat)
yang didesain dalam bentuk bundar segera dibuat. Untuk menyertai mangkok ini
disediakan juga perlengkapan lainnya seperti ubi jerangau merah (acorus
calamus) yang melambangkan keberanian (ada yang mengatakan bisa diganti dengan
beras kuning), bulu ayam merah untuk terbang, lampu obor dari bambu untuk suluh
(ada yang mengatakan bisa diganti dengan sebatang korek api), daun rumbia
(metroxylon sagus) untuk tempat berteduh dan tali simpul dari kulit kepuak
sebagai lambang persatuan. Perlengkapan tadi dikemas dalam mangkok dari bambu
itu dan dibungkus dengan kain merah.
Menurut
cerita turun-temurun mangkok merah pertama beredar ketika perang melawan Jepang
dulu. Lalu terjadi lagi ketika pengusiran orang Tionghoa dari daerah-daerah
Dayak pada tahun 1967. pengusiran Dayak terhadap orang Tionghoa bukannya perang
antar etnis tetapi lebih banyak muatan politisnya. Sebab saat itu Indonesia
sedang konfrontasi dengan Malaysia.
Menurut
kepercayaan Dayak, terutama yang dipedalaman Kalimantan yang disampaikan dari
mulut ke mulut, dari nenek kepada bapak, dari bapak kepada anak, hingga saat
ini yang tidak tertulis mengakibatkan menjadi lebih atau kurang dari yang
sebenar-benarnya, bahwa asal-usul nenek moyang suku Dayak itu diturunkan dari
langit yang ke tujuh ke dunia ini dengan “Palangka Bulau” ( Palangka artinya
suci, bersih, merupakan ancak, sebagai tandu yang suci, gandar yang suci dari
emas diturunkan dari langit, sering juga disebutkan “Ancak atau Kalangkang” ).
PROSES
PENGUBURAN SUKU DAYAK MAANYAN
Setelah
seseorang dari suku Dayak Maanyan dinyatakan meninggal maka dibunyikanlah gong
beberapa kali sebagai pertanda ada salah satu anggota masyarakat yang
meninggal. Segera setelah itu penduduk setempat berdatangan ke rumah keluarga
yang meninggal sambil membawa sumbangan berupa keperluan untuk penyelenggaraan
upacara seperti babi, ayam, beras, uang, kelapa, dan lain-lain yang dalam
bahasa Dayak Maanyan disebut nindrai.
Beberapa
orang laki-laki pergi ke dalam hutan untuk mencari kayu bakar dan menebang
pohon hiyuput (pohon khusus yang lembut) untuk dibuat peti
mati. Kayu yang utuh itu dilubangi dengan beliung atau kapak yang dirancang
menyerupai perahu tetapi memakai memakai tutup. Di peti inilah mayat nantinya
akan dibaringkan telentang, peti mati ini dinamakan rarung.
Seseorang
yang dinyatakan meninggal dunia mayatnya dimandikan sampai bersih, kemudian
diberi pakaian serapi mungkin. Mayat tersebut dibaringkan lurus di atas tikar
bamban yang diatasnya dikencangkan kain lalangit. Tepat di ujung kepala dan
ujung kaki dinyalakan lampu tembok atau lilin. Kemudian sanak famili yang
meninggal berkumpul menghadapi mayat, selanjutnya diadakan pengambilan ujung
rambut, ujung kuku, ujung alis, ujung bulu mata, dan ujung pakaian si mati yang
dikumpulkan menjadi satu dimasukkan ke sebuah tempat bernama cupu. Semua
perangkat itu dinamakan rapu yang pada waktu penguburan si
mati nanti diletakkan di atas permukaan kubur dengan kedalaman kurang lebih
setengah meter.
Tepat
tengah malam pukul 24.00 mayat dimasukkan ke dalam rarung sambil
dibunyikan gong berkali-kali yang istilahnya nyolok. Pada waktu itu
akan hadir wadian, pasambe, damang, pengulu adat, kepala desa,
mantir dan sanak keluarga lainnya untuk menghadapi pemasukan mayat ke dalam
rarung.
Pasambe
bertugas menyiapkan semua keperluan dan perbekalan serta peralatan bagi si mati
yang nantinya disertakan bersamanya ke dalam kuburan. Sedangkan Wadian bertugas
menuturkan semua nasihat dan petunjuk agar amirue (roh/arwah)
si mati tidak sesat di perjalanan dan bisa sampai di dunia baru. Wadian di sini
juga bertugas memberi makan si mati dengan makanan yang telah disediakan
disertai dengan sirih kinangan, tembakau dan lain-lain.
Jika
penuturan wadian telah selesai tibalah saatnya orang berangkat mengantar peti
mati ke kuburan. Pada saat itu sanak keluarganya menangisi keberangkatan
sebagai cinta kasih sayang kepada si mati. Menunjukkan ketidakinginan untuk
berpisah tetapi apa daya tatau matei telah sampai dan rasa haru mengingat semua
perbuatan dan budi baik si mati selagi berada di dunia fana.
SENI
TARI DAYAK
1. Tari
Gantar
Tarian yang menggambarkan gerakan orang menanam padi. Tongkat menggambarkan kayu penumbuk sedangkan bambu serta biji-bijian didalamnya menggambarkan benih padi dan wadahnya.
Tarian yang menggambarkan gerakan orang menanam padi. Tongkat menggambarkan kayu penumbuk sedangkan bambu serta biji-bijian didalamnya menggambarkan benih padi dan wadahnya.
Tarian
ini cukup terkenal dan sering disajikan dalam penyambutan tamu dan
acara-acara lainnya.Tari ini tidak hanya dikenal oleh suku Dayak
Tunjung namun juga dikenal oleh suku Dayak Benuaq. Tarian ini dapat dibagi
dalam tiga versi yaitu tari Gantar Rayatn, Gantar Busai dan Gantar Senak/Gantar
Kusak.
2. Tari
Kancet Papatai / Tari Perang
Tarian
ini menceritakan tentang seorang pahlawan Dayak Kenyah berperang melawan
musuhnya. Gerakan tarian ini sangat lincah, gesit, penuh semangat dan
kadang-kadang diikuti oleh pekikan si penari.
Dalam
tari Kancet Pepatay, penari mempergunakan pakaian tradisionil suku Dayak Kenyah
dilengkapi dengan peralatan perang seperti mandau, perisai dan baju perang.
Tari ini diiringi dengan lagu Sak Paku dan hanya menggunakan
alat musik Sampe.
3. Tari
Kancet Ledo / Tari Gong
Jika Tari Kancet Pepatay menggambarkan kejantanan dan keperkasaan pria Dayak Kenyah, sebaliknya Tari Kancet Ledo menggambarkan kelemahlembutan seorang gadis bagai sebatang padi yang meliuk-liuk lembut ditiup oleh angin.
Jika Tari Kancet Pepatay menggambarkan kejantanan dan keperkasaan pria Dayak Kenyah, sebaliknya Tari Kancet Ledo menggambarkan kelemahlembutan seorang gadis bagai sebatang padi yang meliuk-liuk lembut ditiup oleh angin.
Tari
ini dibawakan oleh seorang wanita dengan memakai pakaian tradisionil suku Dayak
Kenyah dan pada kedua tangannya memegang rangkaian bulu-bulu ekor burung
Enggang. Biasanya tari ini ditarikan diatas sebuah gong, sehingga Kancet Ledo
disebut juga Tari Gong.
4. Tari
Kancet Lasan
Menggambarkan kehidupan sehari-hari burung Enggang, burung yang dimuliakan oleh suku Dayak Kenyah karena dianggap sebagai tanda keagungan dan kepahlawanan. Tari Kancet Lasan merupakan tarian tunggal wanita suku Dayak Kenyah yang sama gerak dan posisinya seperti Tari Kancet Ledo, namun si penari tidak mempergunakan gong dan bulu-bulu burung Enggang dan juga si penari banyak mempergunakan posisi merendah dan berjongkok atau duduk dengan lutut menyentuh lantai. Tarian ini lebih ditekankan pada gerak-gerak burung Enggang ketika terbang melayang dan hinggap bertengger di dahan pohon.
Menggambarkan kehidupan sehari-hari burung Enggang, burung yang dimuliakan oleh suku Dayak Kenyah karena dianggap sebagai tanda keagungan dan kepahlawanan. Tari Kancet Lasan merupakan tarian tunggal wanita suku Dayak Kenyah yang sama gerak dan posisinya seperti Tari Kancet Ledo, namun si penari tidak mempergunakan gong dan bulu-bulu burung Enggang dan juga si penari banyak mempergunakan posisi merendah dan berjongkok atau duduk dengan lutut menyentuh lantai. Tarian ini lebih ditekankan pada gerak-gerak burung Enggang ketika terbang melayang dan hinggap bertengger di dahan pohon.
5.Tari
Leleng
Tarian ini menceritakan seorang gadis bernama Utan Along yang akan dikawinkan secara paksa oleh orangtuanya dengan pemuda yang tak dicintainya. Utan Along akhirnya melarikan diri kedalam hutan. Tarian gadis suku Dayak Kenyah ini ditarikan dengan diiringi nyanyian lagu Leleng.
Tarian ini menceritakan seorang gadis bernama Utan Along yang akan dikawinkan secara paksa oleh orangtuanya dengan pemuda yang tak dicintainya. Utan Along akhirnya melarikan diri kedalam hutan. Tarian gadis suku Dayak Kenyah ini ditarikan dengan diiringi nyanyian lagu Leleng.
6. Tari
Hudoq
Tarian ini dilakukan dengan menggunakan topeng kayu yang menyerupai binatang buas serta menggunakan daun pisang atau daun kelapa sebagai penutup tubuh penari. Tarian ini erat hubungannya dengan upacara keagamaan dari kelompok suku Dayak Bahau dan Modang. Tari Hudoq dimaksudkan untuk memperoleh kekuatan dalam mengatasi gangguan hama perusak tanaman dan mengharapkan diberikan kesuburan dengan hasil panen yang banyak.
Tarian ini dilakukan dengan menggunakan topeng kayu yang menyerupai binatang buas serta menggunakan daun pisang atau daun kelapa sebagai penutup tubuh penari. Tarian ini erat hubungannya dengan upacara keagamaan dari kelompok suku Dayak Bahau dan Modang. Tari Hudoq dimaksudkan untuk memperoleh kekuatan dalam mengatasi gangguan hama perusak tanaman dan mengharapkan diberikan kesuburan dengan hasil panen yang banyak.
7. Tari
Hudoq Kita’
Tarian dari suku Dayak Kenyah ini pada prinsipnya sama dengan Tari Hudoq dari suku Dayak Bahau dan Modang, yakni untuk upacara menyambut tahun tanam maupun untuk menyampaikan rasa terima kasih pada dewa yang telah memberikan hasil panen yang baik. Perbedaan yang mencolok anatara Tari Hudoq Kita’ dan Tari Hudoq ada pada kostum, topeng, gerakan tarinya dan iringan musiknya. Kostum penari Hudoq Kita’ menggunakan baju lengan panjang dari kain biasa dan memakai kain sarung, sedangkan topengnya berbentuk wajah manusia biasa yang banyak dihiasi dengan ukiran khas Dayak Kenyah. Ada dua jenis topeng dalam tari Hudoq Kita’, yakni yang terbuat dari kayu dan yang berupa cadar terbuat dari manik-manik dengan ornamen Dayak Kenyah.
Tarian dari suku Dayak Kenyah ini pada prinsipnya sama dengan Tari Hudoq dari suku Dayak Bahau dan Modang, yakni untuk upacara menyambut tahun tanam maupun untuk menyampaikan rasa terima kasih pada dewa yang telah memberikan hasil panen yang baik. Perbedaan yang mencolok anatara Tari Hudoq Kita’ dan Tari Hudoq ada pada kostum, topeng, gerakan tarinya dan iringan musiknya. Kostum penari Hudoq Kita’ menggunakan baju lengan panjang dari kain biasa dan memakai kain sarung, sedangkan topengnya berbentuk wajah manusia biasa yang banyak dihiasi dengan ukiran khas Dayak Kenyah. Ada dua jenis topeng dalam tari Hudoq Kita’, yakni yang terbuat dari kayu dan yang berupa cadar terbuat dari manik-manik dengan ornamen Dayak Kenyah.
8. Tari
Serumpai
Tarian
suku Dayak Benuaq ini dilakukan untuk menolak wabah penyakit dan mengobati
orang yang digigit anjing gila. Disebut tarian Serumpai karena tarian diiringi
alat musik Serumpai (sejenis seruling bambu).a kita
memanfaatkan dan mengelolanya.
9. Tari
Belian Bawo
Upacara Belian Bawo bertujuan untuk menolak penyakit, mengobati orang sakit, membayar nazar dan lain sebagainya. Setelah diubah menjadi tarian, tari ini sering disajikan pada acara-acara penerima tamu dan acara kesenian lainnya. Tarian ini merupakan tarian suku Dayak Benuaq.
Upacara Belian Bawo bertujuan untuk menolak penyakit, mengobati orang sakit, membayar nazar dan lain sebagainya. Setelah diubah menjadi tarian, tari ini sering disajikan pada acara-acara penerima tamu dan acara kesenian lainnya. Tarian ini merupakan tarian suku Dayak Benuaq.
10.
Tari Kuyang
Sebuah tarian Belian dari suku Dayak Benuaq untuk mengusir hantu-hantu yang menjaga pohon-pohon yang besar dan tinggi agar tidak mengganggu manusia atau orang yang menebang pohon tersebut.
Sebuah tarian Belian dari suku Dayak Benuaq untuk mengusir hantu-hantu yang menjaga pohon-pohon yang besar dan tinggi agar tidak mengganggu manusia atau orang yang menebang pohon tersebut.
11.
Tari Pecuk Kina
Tarian ini menggambarkan perpindahan suku Dayak Kenyah yang berpindah dari daerah Apo Kayan (Kab. Bulungan) ke daerah Long Segar (Kab. Kutai Barat) yang memakan waktu bertahun-tahun.
Tarian ini menggambarkan perpindahan suku Dayak Kenyah yang berpindah dari daerah Apo Kayan (Kab. Bulungan) ke daerah Long Segar (Kab. Kutai Barat) yang memakan waktu bertahun-tahun.
12.
Tari Datun
Tarian ini merupakan tarian bersama gadis suku Dayak Kenyah dengan jumlah tak pasti, boleh 10 hingga 20 orang. Menurut riwayatnya, tari bersama ini diciptakan oleh seorang kepala suku Dayak Kenyah di Apo Kayan yang bernama Nyik Selung, sebagai tanda syukur dan kegembiraan atas kelahiran seorang cucunya. Kemudian tari ini berkembang ke segenap daerah suku Dayak Kenyah.
Tarian ini merupakan tarian bersama gadis suku Dayak Kenyah dengan jumlah tak pasti, boleh 10 hingga 20 orang. Menurut riwayatnya, tari bersama ini diciptakan oleh seorang kepala suku Dayak Kenyah di Apo Kayan yang bernama Nyik Selung, sebagai tanda syukur dan kegembiraan atas kelahiran seorang cucunya. Kemudian tari ini berkembang ke segenap daerah suku Dayak Kenyah.
13.
Tari Ngerangkau
Tari Ngerangkau adalah tarian adat dalam hal kematian dari suku Dayak Tunjung dan Benuaq. Tarian ini mempergunakan alat-alat penumbuk padi yang dibentur-benturkan secara teratur dalam posisi mendatar sehingga menimbulkan irama tertentu.
Tari Ngerangkau adalah tarian adat dalam hal kematian dari suku Dayak Tunjung dan Benuaq. Tarian ini mempergunakan alat-alat penumbuk padi yang dibentur-benturkan secara teratur dalam posisi mendatar sehingga menimbulkan irama tertentu.
14.
Tari Baraga’ Bagantar
Awalnya Baraga’ Bagantar adalah upacara belian untuk merawat bayi dengan memohon bantuan dari Nayun Gantar. Sekarang upacara ini sudah digubah menjadi sebuah tarian oleh suku Dayak Benuaq.
Awalnya Baraga’ Bagantar adalah upacara belian untuk merawat bayi dengan memohon bantuan dari Nayun Gantar. Sekarang upacara ini sudah digubah menjadi sebuah tarian oleh suku Dayak Benuaq.
Senjata Sukubangsa Dayak
Sipet / Sumpitan.Merupakan
senjata utama suku dayak. Bentuknya bulat dan berdiameter 2-3 cm, panjang 1,5 –
2,5 meter, ditengah-tengahnya berlubang dengan diameter lubang ¼ – ¾ cm yang
digunakan untuk memasukan anak sumpitan (Damek). Ujung atas ada tombak yang
terbuat dari batu gunung yang diikat dengan rotan dan telah di anyam. Anak
sumpit disebut damek, dan telep adalah tempat anak sumpitan.
Lonjo / Tombak.
Dibuat dari besi dan dipasang atau diikat dengan anyaman rotan dan bertangkai
dari bambu atau kayu keras.
Telawang / Perisai.
Terbuat dari kayu ringan, tetapi liat. Ukuran panjang 1 – 2 meter dengan lebar
30 – 50 cm. Sebelah luar diberi ukiran atau lukisan dan mempunyai makna
tertentu. Disebelah dalam dijumpai tempat pegangan.
Mandau.
Merupakan senjata utama dan merupakan senjata turun temurun yang dianggap
keramat. Bentuknya panjang dan selalu ada tanda ukiran baik dalam bentuk
tatahan maupun hanya ukiran biasa. Mandau dibuat dari batu gunung, ditatah,
diukir dengan emas/perak/tembaga dan dihiasi dengan bulu burung atau rambut
manusia. Mandau mempunyai nama asli yang disebut “Mandau Ambang Birang Bitang
Pono Ajun Kajau”, merupakan barang yang mempunyai nilai religius, karena
dirawat dengan baik oleh pemiliknya. Batu-batuan yang sering dipakai sebagai
bahan dasar pembuatan Mandau dimasa yang telah lalu yaitu: Batu Sanaman
Mantikei, Batu Mujat atau batu Tengger, Batu Montalat.
Dohong. Senjata
ini semacam keris tetapi lebih besar dan tajam sebelah menyebelah. Hulunya
terbuat dari tanduk dan sarungnya dari kayu. Senjata ini hanya boleh dipakai
oleh kepala-kepala suku, Demang, Basir.
Totok Bakakak (kode) yang umum dimengerti Sukubangsa
Dayak
Mengirim
tombak yang telah di ikat rotan merah (telah dijernang) berarti menyatakan
perang, dalam bahasa Dayak Ngaju “Asang”.
Mengirim
sirih dan pinang berarti si pengirim hendak melamar salah seorang gadis yang
ada dalam rumah yang dikirimi sirih dan pinang.
Mengirim
seligi (salugi) berarti mohon bantuan, kampung dalam bahaya.
Mengirim
tombak bunu (tombak yang mata tombaknya diberi kapur) berarti mohon bantuan
sebesar mungkin karena bila tidak, seluruh suku akan mendapat bahaya.
Mengirim
Abu, berarti ada rumah terbakar.
Mengirim
air dalam seruas bambu berarti ada keluarga yang telah mati tenggelam, harap
lekas datang. Bila ada sanak keluarga yang meninggal karena tenggelam, pada
saat mengabarkan berita duka kepada sanak keluarga, nama korban tidak disebutkan.
Mengirim
cawat yang dibakar ujungnya berarti salah seorang anggota keluarga yang telah
tua meninggal dunia.
Mengirim
telor ayam, artinya ada orang datang dari jauh untuk menjual belanga, tempayan
tajau.
Daun
sawang/jenjuang yang digaris dan digantung di depan rumah, hal ini menunjukan
bahwa dilarang naik/memasuki rumah tersebut karena adanya pantangan adat.
Bila
ditemukan pohon buah-buahan seperti misalnya langsat, rambutan, dsb, didekat
batangnya ditemukan seligi dan digaris dengan kapur, berarti dilarang mengambil
atau memetik buah yang ada dipohon itu.
BERBURU
ALA SUKU DAYAK
Anda
pernah berburu? Atau justru Anda memang mempunyai hobi berburu? Bagaimana cara
Anda berburu? Menunggu binatang buruan dan tembak langsung?
Suku
Dayak yang hidup merambah di hutan-hutan mempunyai cara unik dalam berburu
binatang. Salah satunya yang saya temui pada suatu kesempatan ekspedisi ke
Kalimantan Timur, tepatnya di desa Long Loreh Kabupaten Tarakan.
Untuk
berburu mereka tidak menunggu binatang buruannya datang mendekati mereka tetapi
mereka memanggil binatang yang diinginkannya untuk datang mendekati mereka.
Caranya?
Caranya
tergantung dari binatang apa yang mereka buru. Misalnya, untuk binatang rusa
mereka akan menirukan suara anak rusa dengan menggunakan sejenis daun serai
yang dilipat melintang dan ditiup. Hasil tiupannya akan muncul suara seperti
suara anak rusa. Kenapa begitu? “Karena Rusa selalu melindungi anaknya. Dengan
mendengar suara ini dia merasa anaknya membutuhkan pertolongan” demikian
keterangan yang saya peroleh dari seorang pemburu disana.
Bagaimana
dengan binatang lainnya? Celeng (Babi hutan) suka sekali diambil kutunya oleh
Beruk (monyet besar), maka untuk memanggil celeng, si pemburu akan menepuk
pantat mereka berulang kali sehingga muncul suara seperti Beruk menepuk
badannya. Sedangkan Beruk tidak pernah menjadi target buruan. “Rasanya seperti
makan daging manusia” demikian alasan mereka.
Memanggil
(tepatnya mengejar) Babi adalah tugas para anjing peliharaan si pemburu yang
akan selalu diajak selama berburu karena anjing mempunyai penciuman yang tajam.
Kalau ingin berburu Enggang, burung besar yang suka terbang si pemburu akan
menirukan suara burung tersebut yang mirip suara Elang. “KooaaaaK” kira-kira
begitu.
Alat
berburu yang mereka gunakan hanyalah tombak atau sumpit. Karena sumpit mereka
panjang, biasanya sumpit tersebut bisa juga digunakan sebagai tombak. Jarum
sumpit yang digunakan berburu diolesi dengan ramuan racun yang berfungsi hanya
melumpuhkan atau bahkan mematikan.
Selama
berburu mereka juga menghitung waktu dan arah angin. Perhitungan waktu
berkaitan dengan aktivitas binatang buruan sementara arah angin untuk membantu
mereka mennetukan posisi untuk menyembunyikan diri. Bersedianya binatang buruan
mendekati mereka sangat dipengaruhi oleh bau asing yang dibawa angin.
Hal
yang bisa diambil dari kehidupan suku Dayak adalah kearifan tradisional sangat
melekat mereka bahkan dalam hal berburu. Mereka hanya berburu pada saat-saat
tertentu di mana persediaan lauk mereka sudah mulai menipis atau mereka akan
mengadakan pesta. Suku Dayak sangat menghormati alam. Karena bagi mereka alam
memberikan mereka semua kebutuhan yang mereka perlukan tergantung bagaimana
kita memanfaatkan dan mengelolanya.